mungkin sebagian orang berpikir, mereka memiliki rasa nasionalisme yang rendah..
yah memang begitu mungkin adanya, pengaruh negara luar lebih mereka ketahui dibandingkan dengan perihal yang dimiliki Indonesia. jadi tidak heran ketika melihat tiang bendera negara lain terlihat lebih tinggi dibanding tiang bendera Indonesia. semula saya berfikir, mungkin ini karena pengaruh piala dunia yang baru usai pertengahan juli kemarin. namun menurut orang asli perbatasan berkata, bukan. ini sudah menjadi kebiasaan mereka mencintai negara lain, "Nona lihat sendiri, semua ornamen di lingkungan tempat tinggal Beta identik dengan negara lain".
tapi saya masih tetap tidak percaya dan akan saya cari, pasti ada kebiasaan orang Indonesia pada umumnya meskipun mereka tinggal di daerah perbatasan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZnSm-H1EqU6ujKz9UK2BRaijt0fIhTY6mA6JYK1SMr4rhvGIGoAG_3-UYaQP7x9_A32azJQFnQZLKFoCT2DVSy2gsdekdb4LgMCHA6JWk_k0zSEfM6griBI5IcoNO5NdJVdZ1fhDMxmM/s320/IMG_20180720_180745.jpg)
Pagi hari, kebiasaan jalan pagi yang rutin saya kerjakan, kemanapun. khusus di sini, Pulau Larat, saya membawa teropong binokuler, handpone lengkap dengan tongsis dan uang saku secukupnya, menemani saya berjalan sendirian keluar dari Mess.
sambil berjalan dan selfi selfi. Sebagai pendatang yang santun, tiap ada orang lewat saya sapa. "Permsi" atau "selamat pagi" sampai akhirnya saya bertemu dengan keluarga bapak Siarmasa, penduduk asli suku Tanimbar. Berawal dari saling sapa di jalan, saya dan pak Siar beserta ibu Tin Istrinya dan Rafa cucu nya kami jalan-jalan pagi menuju pelabuhan. Awalnya saya tidak punya tujuan mau jalan-jalan pagi kemana akhirnya ikut jalan dengan mereka. Menyenangkan, sepanjang perjalanan kami bercerita baanyaakk hal mengalir begitu saja. sampai di Pelabuhan kami berfoto bersama, menyapa para nelayan yang giat mengangkut barang yang akan menyeberang ke pulau sebelah. Kemeudian kami lanjut berjalan ke pasar yang dekat dengan pelabuhan. Mentari yang seharusnya sudah muncul dengan teriknya tidak terlihat karena saat itu sudah masuk musim penghujan,matahari tertutup awan mendung kemudian perlahan turun rintik-rintik hujan. Untung saja bu Tin bawa payung dan kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana karena saya akan pulang pagi ini ke Saumlaki-Ambon-Jakarta-Bogor. Tak disangka, dalam perjalan pulang pak Siar bilang akan mengantarkan saya hingga ke Mess, padahal jarak antar rumahnya cukup jauh. "saya antar ose sampai ke Mess, ose tidak boleh jalan sendirian. bukan karena disini tidak aman, tapi kita harus ramah ke semua orang to, apalagi ose datang jauh-jauh ke kampung kami punya tugas khusus. supaya ose juga tidak bosan datang kemari lagi to"
meleleh saya, senang sekali jalan-jalan pagi ada yang menemani dengan ramahnya.
mungkin ini kebiasaan orang Indonesia pada umumnya yang saya cari di daerah perbatasan. keramahan pak siar dan keluarga cerminan masyarakat Indonesia, banyak sekali perbedaan antara keluarga pak siar dengan saya mulai dari suku, agama, budaya, usia, dan lain sebagainya tapi atas nama Indonesia kami jadi warga negara yang satu, Negara Persatuan, Negara Indonesia dan itu tentu saja bagian dari nasionalisme.
Komentar
Posting Komentar