Masjid Alwasii Universitas Lampung, Sabtu 24 Mei 2014
Halaqoh/liqo, budaya dulu dan masa kini tak pernah terhapus. Seperti sore
ini, saya sedang duduk santai sambil menunggu janji dengan seorang teman. Saya saksikan seorang murabbi/pembina dengan 8 mad'u/binaan sedang duduk melingkar,
semuanya khusuk mendengarkan salah seorang dari meraka sedang membacakan
Qalamullah, beranjak dari ayat ke ayat hingga lembar selanjutnya.
Tak ada yang aneh memang dari kegiatan mereka, bahkan bagi
orang-orang yang melewati hilir mudik di
tempat itu se-akan memahami kegiatan mereka, sebuah perkumpulan, mencicipi
makaan dan minuman, kemudian mempelajari suatu hal dari ketua kelompok,
shering, dan lain sebagainya. Tapi ini berbeda, namanya 'Halaqoh', disitu
mereka menymbung silaturahmi, dan saya yakin hal itu tidak baru saja dilakukan,
pasti sudah bertahun-tahun mereka jalani. Setidaknya saya tahu, yang mereka
lakukan merupakan hal yang sama dengan diri saya sampai saat ini, masih duduk
melingkar tiap pekannya, hafalan quran, mendengarkan sebuah taujih, mengecek
kegiatan rohani dan jasmani, kemudian berdiskusi. Istilah
halaqah dan liqo di Indonesia umumnya sering dikaitkan dengan pengajian
dalam format kelompok kecil antar 5 s/d 10 orang, dimana ada satu orang
yang bertindak sebagai nara sumber yang sering diistilahkan dengan
murabbi.
Bagi saya ini merupakan kewajiban, ada banyak hal yang saya dapat
dari suatu 'kewajiban' itu, selain bernilai pahala karena menambah ilmu dan
silaturahmi, saya juga dapat mengontrol ibadah yang harus saya kerjakan tiap
harinya secara rutin, kalaupun ada beberapa yang tidak saya kerjakan ataupun
kurang mencapai target, ada yang memberikan semangat untuk selalu istiqomah
untuk terus berusaha dijalan Allah SWT.
Senang rasanya
jika, hal ini berlanjut hingga nanti. Tidak berakhir di semester 5, 6, 7,
8, tidak berakhir hingga lanjut S2 nanti di Brunei Darussalam, tidak berakhir
hingga nanti sudah berkeluarga dan seterusnya, tidak berakhir.
Komentar
Posting Komentar