Langsung ke konten utama

Ini Kisahku selama KWI'15, Mana Kisahmu?

8 Februari 2015
Sekian lama jemari ini tidak menari diatas kayboard notebook ASUS untuk mengisahkan cerita fiksi. Sebenarnya rasa gelisah itu ada sejak kepulanganku dari kegiatan Karya Wisata Ilmiah 2015 (KWI ‘15), dan kegelisahan ini harus cepat kucurahkan pada fasilitas yang ada (read notebook) untuk bisa dikenang dan bernilai. –bernilai bagaimana, apakah kegelisahan itu akan di jual??

– Usut cerita menurut penulis, menulis itu berawal dari kegelisahan, nah untuk meredakan kegelisahan itu maka harus dituliskan, mungkin tidak sedikit orang mengira tulisan itu tidak bernilai, namun tidak sedikit orang membuktikan keberhasilan hidupnya berawal dari sebuah tulisan.

Maka dari itu, aku sangat senang menulis, menulis apapun itu, apalagi kalo kisahnya sangat sayang untuk cepat dilupakan. Tapi sebelumnya aku mau minta maaf karena tulisan ini masih banyak kekurangannya, mulai dari nama yang tidak disebutkan, bahasa, gambar, momen kegiatan yang tidak semestinya, dan lain-lain mohon maaf jika kurang sesuai karena namanya juga kisah fiksi, tentunya ada beberapa yang tidak sama dengan aslinya.
Selamat membaca :)

Desa Sidokaton, Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus, Lampung, di sinilah kegiatan KWI’15 dilaksanakan secara outdoor. Kegitan yang dilaksanakan selama 6 hari ini memerlukan persiapan yang melelahkan, namun menyenangkan dan layak dikenang.

28/01– kali pertama aku menjadi kakak asuh di KWI. Apa bisa?? ( waah banyak yang meragukan rupanya -_-# meski begitu, aku kepingin tahu daerah Gisting, sekalian liburan). Hari itu juga warga FMIPA berangkat menuju desa Sidokaton menggunakan bus. Sudah dari jauh hari aku merencanakan berangkat naik motor dengan Mustika (sohib+panitia) tujuannya agar lebih cepat sampai & menyempatkan untuk berpetualang, hhe.





Kami berteriak berkali-kali “ini benerah udah sampe sidokaton??”
“Huaaah, itu Gunungnya besar bangettttt”.
“MasyaaLlah ini beneran acaranya pas di kaki gunung”.
Derasnya hujan membawa berkah, kami yang lelah selama diperjalanan merasa diharuskan untuk beristirahat kemudian melanjutkan kegiatan.

Dari kejauhan aku melihat sekumpulan bocah- (kelompok sepuluh, Dhasamers, adik asuhku) sedang menggeret barang bawaannya, tapi saking banyaknya yang dibawa lebih cocok sedang pindah kosan bahkan pindah rumah.

Ekspresi wajah yang lelah, mabuk perjalanan, kebas terkena hempasan hujan, ditambah lagi untuk sampai di lokasi (wilayah 4) harus melewati tanjakan tingiiiii. Sambil ngos-ngosan, mimik wajah mereka sangat jelas mengatakan “Gile, yang bener aja, kita tiap hari bakalan naik turun tanjakan itu??”

Menuju rumah warga yang sudah panitia tandai untuk kelompok kami, keluarga bapak Sukidi menyambut hangat kedatangan kami dan langsung mempersilahkan masuk untuk menyimpan semua barang bawaan. Tidak lama kami beristirahat, semua peserta diminta panitia untuk ke pusat acara untuk pembukaan “semangat adik asuhku!!!”

Aku yang menjadi kakak asuh bisa bersantai ria (ramah tamah) dengan tuan rumah dan dari sinilah aku lebih mengenal aktivitas keseharian tuan rumah. Bapak dan ibu ini sehari-harinya berkebun sayuran, mulai dari sawi, cabe merah, kubis, dan tomat. Setelah panen, mereka brangkat ke pasar sejak pukul 2 dini hari dan pulang pukul 8 pagi untuk menjual sayuran.

Mereka juga menjelaskan harga dari masing-masing sayuran tersebut dan total keuntungan yang didapatkan.
“lumayan aja mba, tiap habis panen uangnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bisa menabung, apa lagi setelah panen cabai merah dan harga cabai lagi tinggi, kami bisa membeli tanah dan membangun rumah ini.”
Selain itu bapak dan ibu juga menceritakan kondisi desa yang aman dan damai ini, terbukti ketika mereka menyimpan motor di luar rumah tidak pernah ada kejadian pencurian. Sambil bersantai ria dan mengunggu kedatangan adik asuh, aku putuskan untuk mandi duluan. Brrrr, Caina atis pisan euy#1!!

Malam pertama di desa Sidokaton. 
Kami berduabelas putri tidur dalam satu ruangan- depan TV, dalam sekejap mereka sudah terlelap diatas selembar tikar dan di bawah selibut yang mereka bawa, namun ada juga beberapa yang masih terjaga karena susah tidur akibat rindu kamar sendiri dan perlu adaptasi dengan tempat tidur barunya.

Ketika tiba waktu dini hari, aku terbangun karena suhu semakin dingin, mungkin disaat itulah puncak suhu terendah menyergap. Tidak lama merasa kedinginan akupun kembali terlelap dan tidak merasa dingin kembali. Alarm hadphonku berbunyi pukul 3.30 dini hari. Dalam benakku, sebagai kakak asuh yang baik aku harus cepat membangunkan adik asuh dengan lemah lembut. “Adik, bangun, sudah jam setengah empat. Ayo kita tahajud.” Belum juga membangunkan mereka, aku dibuat kaget dengan seekor kucing yang asik meringkuk tidur di atas kakiku. “heyyy, kamu ngapain, enak banget tidur di kaki gw” kucing itupun kaget dan terbangun karena omelanku lalu langsung ngacir ke luar ruang TV.

Aktivitas yang ga biasanya baru saja dimulai. Bangun pukul setengah empat tidak ada waktu kembali tidur, berkemul dengan selimut hangat. Semua bergerak, baru saja bangun tidur kami sudah harus mencari air atau menumpang toilet tetangga, kemudian sholat tahajud, dilanjutkan sholat subuh berjamaah, mengaji dan membaca almasurat. Bagi anak putri non muslimah dan yang sedang datang bulan langsung membereskan tempat tidur, mencuci piring, dan membuat teh. Sebagian beres-beres remah sebagian lagi masak untuk sarapan, sambil sarapan, biasanya kami mendengarkan hasil briefing ketua kelompok yang disampaikan langsung oleh David. Mentari merangkak naik, perlahan menyapu awan hitam. semburat fajar dari ufuk timur terpancar indah dari sebrang gunung Tanggamus.

















Aktivitas lain yang kami lakukan selain mengikuti kegiatan yang sudah direncanakan panitia dalam jadwal kegitan, tentunya kakak asuh menemani adik asuh yang piket di rumah menyiapkan masakan untuk pagi siang malam.

29/01, hari ini bagian Lena dan Wika yang piket, dengan menu masakan siang; sayur asem, tempe mendoan, dan sambal goreng spesial ala Lena. Lena mirip denganku sewaktu aku belajar masak dengan Bi Sal- asisten ibu di rumah- ngulek sambel ternyata tidak mudah. Harus halus dan tentu saja rasanya lezat. Oya aku juga dapat ilmu baru dari Wika, masak tempe mendoan sebelum tempenya dimasukkan kedalam adonan tepung, tempenya harus di rendam beberapa menit ke dalam air garam, setelah itu baru dimasukan ke dalam adonan lalu digoreng. Hasilnya, tempe mendoan lebih lezat dan ada rasanya-tidak tawar.

Siang harinya kondisi rumah sepi dan membosankan, akhirnya aku coba ke samping rumah, kebetulan lagi banyak petani sayur yang mengumpulkan hasil kebunnya untuk di jual cepat karena sudah ada yang memesan. Sambil memperhatikan aktivitas mereka aku sengaja ngobrol dan bercerita besok pagi aku mau pulang ke Bandar Lampung.
“ow mba e mau pulang besok, bawa oleh-oleh yo, nanti ibu ambilkan sawi di kebon belakang rumah”
“nda usah repot-repot bu e, tapi bu e punya kebon sawi di belakang rumah ya?, jadi kita tinggal manen, waha asik ni bisa manen sendiri.”
“iya, yo ikut ibu ke belakang”
hasikkk, lumayan
















Selanjutnya menu makan malam kali ini dengan bakwan dan pindang ikan+tahu. Lebih banyak dan lebih terlihat tahunya karena ikannya terlalu kecil dan mudah hancur saat dimasak. Hadeeh 
 
















30/01, waktu itu aku minta diri ke adik asuh dan Al (kakak asuh putra kelompok sepuluh) untuk ke kampus hari itu juga. ada keperluan yang harus aku konsultasikan dengan dosen pembimbing akademik, jadilah aku pulang bareng Mustika, kebetulan hari itu juga dia harus pulang untuk acara
kirim doa kepada mendiang Mamaknya yang sudah ‘pergi’ tahun lalu.

Kabut tebal menyelimuti Gisting, laju kecepatan motor lebih cepat dari biasanya karena jalanan masih sepi dari aktivitas warga hanya di daerah Pasar Gisting Bawah saja yang sepertinya sudah ramai sejak fajar benar-benar diselimuti jubah hitamnya.

Setiap aktivitas selama di Bandar Lampung sering teringat adik asuh, mereka lagi ngapain ya, solatnya berjamaah ga, udah makan belum, makannya sama apa? bahkan sampai malam harinya pun aku teringat mereka, dah pada tidur belum ya? Tidak lama, ketika aku menikmati nyamannya tidur di kamar sendiri sambi maskeran hp ku berdering, dari Wika. Disebrang sana terdengar suara Arien yang tergesah-gesah.
“Hallo mba, Assalamualaikum, maaf ganggu ya mba”
“waalaikumsalam wr wb, gapapa Rien, ada apa?” ku jawab dengan lebih pelan karena lagi maskeran. “mba, kami di rumah takut banget, ada insiden. Kirimin mba-mba panitia dong mba untuk temenin kita orang tidur”
“HAH, insiden apa?!” masker di wajah retak-retak saking khawatirnya. “nanti aja mba ceritanya, disini signalnya ga bagus”
“Oke, mba coba hubungi panitia. Hati-hati ya dik, kalian harus saling menjaga” Masker di wajah sudah tidak ku hiraukan lagi, langsung cuci muka dan menghubungi satu persatu no. Panitia yang ada di kontak hp ku. Sialnya tidak ada satupun nomer yang aktif karena di lokasi tidak ada sinyal. Namun akhirnya aku bisa menghubungi mba Shinta- Presidium BEM dan meminta beberapa panitia puteri untuk menginap di rumah kelompok sepuluh puteri.

31/01, Alhamdulillah, masih bertemu pagi. Itu artinya aku masih hidup. Karena ‘masih hidup’ itu lah aku masih memiliki impian yang harus ku raih. Tidak butuh waktu lama untuk bermalas-malasan di kamar, sebentar lagi Mustika datang untuk menjemputku kembali ke Gisting.
“kita jadi brangkat pagi ini?” tanyaku pada Mustika.
“iya, tapi bentar ya, pengen tidur-tiduran dulu di kosan Lo. Gile, cuapek banget, baru dateng kemaren, sekarang dah mau brangkat lagi, mana di rumah gw lagi selametan, belum sempet banyak-banyak istirahat”
“ya udah, kita santai aja di jalannya, ga usah ngebut, ga usah sering-sering nyalip mobil orang, trus nanti kita banyakin mampir untuk istirahat. Santai aja, yang penting kita selamet sampe Gisting. Kasian juga motor Lo dah tiga hari ini di bawa ngebut mana jaraknya jauh juga”
“Hehe, oke deh, kita santai aja”. Aku lihat dari tawanya barusan, dalam kondisi apapun kayaknya ga mungkin Tejo (panggilan akrabnya Mustika) bawa motornya santai.
“atau engga, kita gantian aja, gw yang bonceng Lo”
“Ogah!!, trauma tau. dibonceng di kawasan kampus aja pas Lo lagi benerin posisi kaca spion, kita hampir jatoh. Dah yo kita brangkat.”
“ayo”

Dua jam lebih perjalanan ke Gisting, akhirnya sampai juga di rumah, rupanya adik asuh sedang bercanda dengan anak tuan rumah- Noura Salsabila (3,5 tahun). Sambil masak di dapur, Tia dan April yang sedang Piket hari ini di rumah langsung menceritakan kejadian semalam. Rupanya rumah kami kedatanagn orang-orang pendaki gunung Tanggamus dari Jakarta dan Jogja. Mereka datang larut malam, ketukan pintu yang cukup keras dan tidak menjawab saat adik asuhku bertanya ‘Siapa ya?’ tentunya membuat semua adik asuhku ketakutan. Ternyata para pendaki tersebut hanya ingin menitipkan motornya di rumah kami, dan hal tersebut memang sering dilakukan. Namun tetap saja membuat kami takut, untunglah panitia putri yang di minta utuk menginap di rumah kami segera datang.

Berbeda kisahnya dengan anak putra, ketika mereka brangkat ke Mushola untuk sholat subuh, kebetulan di rumah dan di mushola airnya habis maka terpaksa menumpang ke tetagga terdekat. Nahas, belum juga menumpang kamar mandinya tetangga, mereka sudah jadi kambing hitam. Tuan rumah sang tetangga kira mereka menggunakan air seenaknya- hingga luber.

01/02, awal bulan selalu menyenangkan, hhe. Masih di desa Sidokaton, Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Meskipun pagi hari ini di guyur hujan rintik nan awet, pagi hari tetaplah indah. Kabut tebal menyelimuti desa kami, bahkan kabutnya masuk hingga dapur rumah kami.

Sambil sarapan dengan menu wajib, setiap pagi selalu ada- nasi goreng, David sang ketua Dhasamers menjelaskan kegiatan selama satu hari, mulai dari berkebun dengan tuan rumah, lomba masak dengan menu utamanya kubis, dan pentas seni untuk malam harinya.

Nah, disinilah momen yang aku tunggu. Bukan lomba masak loo. Jujur saja, bagiku masak bukan jadi hobi, tapi masak memanglah kewajiban namun sayangnya masakanku masih pas-pasan, mesti banyak-banyak belajar, apalagi untuk lomba masak- tidak bisa diharapkan -_-#.

 Apalagi setelah aku tahu kebunnya Pak Sukidi (tuan rumah) berada di gunung melewati basecamp I gunung Tanggamus, tentu saja aku lebih memilih mendaki gunung, bukannya berkebun di ladang tuan rumah, untungnya sang tuan rumah sangat mengerti keinginan kami yang penasaran untuk menikmati indahnya pegunungan Tanggamus.
“Tapi gaimana dengan lomba masaknya mba?” Hikss, andai bisa diri ini di bagi menjadi dua, kan ku pinta yang satunya tuk menemani lomba masak T.T
“jam 10 nanti saya balik lagi ke rumah, jadi mba pulang bareng saya aja gimana?” kata Wahyu- anggota kelompok sepuluh dan pencetus nama kelompok ini menjadi Dhasamers.
“Oke, masih ada waktu untuk bantuin lomba masak. Boleh ya mba ikut ‘berkebun’ hhe ^_^.”

Setelah melihat kondisi sekitar gunung tidak hujan, Al, Wahyu, Harry, David, Arien, Tri, April, Wika, Anin, Adit, dan Nella, bersama pak Sukidi dan teman-teman dari kelompok lain yang ikut ‘berkebun’ siap berangkat menuju basecamp I.

Pukul 08.00 WIB, Pendakian di mulai dari menapaki jalanan setapak kemudian menanjak, lalu turun, lalu menanjak lagi. Semua jalanan cukup licin tidak sedikit yang terpeleset. Beberapa motor gunung yang digunakan warga untuk mengangkut hasil kebun sempat terhenti beberapa saat karena terperosok pada tanah liat dan roda motornya terjebak di sela bebatuan.
“mba beneran mau mendaki pake rok, pake kaos kaki segala nanti kotor lo” kata Harry “ga papa, dah biasa, mba masih punya stok kaos kaki bersih di tas”
“emangnya bisa, nanti kepeleset” kata Al
“kepeleset? Ya ga lah, kan hati-hati, tenang aja, kita liat siapa yang duluan sampe ke basecamp” kataku dengan pede-nya
“oke, kita liat juga siapa yang paling banyak kepeleset” kata Al ga mau kalah.

Pak Sukidi berjalan paling depan memberikan petunjuk jalan menuju basecamp, namun baru saja beberapa menit pak sukidi memilih berjalan di tengah rombongan pendaki. “mba duluan aja, ikutin jalan setapak. Bapak mau kasih tahu jalan rombongan yang di belakang”. Jadilah mustika paling depan dari yang lain. Mustika tidak berkomentar apa pun karena sudah terbiasa melihatku mendaki menggunakan kaos kaki dan rok.
















Diperjalanan aku teringat janji pukul 10 nanti harus sudah ada di rumah untuk bantuin lomba masak, tapi ini sudah hampir satu jam perjalanan dan belum juga sampai di tempat yang dituju, menurut pak Sukidi bagi masyarakat sekitar biasanya perlu 1 sampai 1,5 jam untuk sampai di basecamp karena jalannya yang lebih cepat bahkan bisa sambil lari-lari kecil meski medannya licin.





















Indahnya pemandangan dan hamparan perkebunan sayuran di sepanjang jalan pendakian tidak ada habisnya. Belum lagi suasana yang berkabut menyelimuti pendakian. Ada beberapa gambar yang ku abadikan dengan kamera digital namun tetap saja kurang puas dengan hasilnya, beruntung Allah masih memberiku nikmat melihat dengan lensa tercanggih sehingga aku bisa melihat semua ini dengan jelas. Segala puji bagi Allah atas Keagungan-Mu. Rasanya tak ingin ku lewatkan tiap jengkalnya bumi beserta isinya yang telah Kau ciptakan sedemikian rupa indahnya.

Setelah sampai di lokasi, kami beristirahat sebentar. Tak lama pak Sukidi datang dan memberitahu kami letak batu payung dan kali es yang tidak jauh dari lokasi. “tinggal turun, kita bisa lihat batu payung- batu besar setinggi 2x2 meter menyerupai payung, dan menikmati dinginnya air kali, maka masyarakat sini menyebutnya kali es.” Terangnya.

Beliau juga menjelaskan bahwa batu yang kami lihat itu sebenarna asli tapi palsu. Batunya asli namun sudah dilapisi dengan semen untuk menutupi tulisan alai yang ada di batu tersebut seperti ‘ku tunggu kau di sini- 1 Januari 2000’ atau ada lagi tulisan ‘Joko & Sri, Cinta selamanya’ dan masih banyak lagi tulisan-tulisan yang mengotori batu tersebut, sehingga masyarakat sekitar berinisiatif untuk meraawatnya dengan melapisi batu payung dengan semen dan memagarinya supaya tidak ada lagi tangan usil yang dapat mengotori batu payung beserta lingkungan disekitarnya.

Tidak jauh dari lokasi batu payung, terdapat tiga kolam, airnya jernih, langsung mengalir dari puncak gunung melewati batuan di atas kolam, di dalam kolam bagian tengahnya berisi beberapa hewan air seperti kepiting dan ikan-ikan kecil. Baru saja sampai di kali es Harry dan Wahyu yang datang lebih dulu langsung main air dan narsis berfoto dari segala sudut. Aku pun tak mau kalah narsisnya, foto-foto sambil melepas lelah setelah pendakian selama 2 jam.

Ada hal menarik di ketiga kolam tersebut, ternyata airnya sangat segar jika diminum namun sayangnya tidak lama kedatanganku di kali es, rombongan pendaki lainnya menyusul ke kali es dan langsung mencelupkan tangan dan kakinya yang kotor sehingga air kolamnya menjadi keruh. Untungnya ada bagian kolam yang lain dan airnya selalu mengalir, hmmm segaaarrr, dingiiiiiinn, serasa minum air es, Hhe.
Konon, air kali es ini jika di minum bikin awet mudah, hahahha, ada-ada saja, itu hanya guyonan.

















Minum sudah, narsis sudah, istirahat juga sudah, waktunya turun- pulang. Bapak Sukidi menyuruh rombongan pulang duluan karena sudah terlihat awan hujan sebentar lagi datang. “ayo cepat pulang, nanti kalia kehujanan, bapak tidak ikut pulang, mau ke ke kebun dulu.” Pintanya.

“Ow kamu dah sampe duluan” kata Al
“mba aida nyampenya cepet banget, naik motor gunung yang lewat ya mba, hhe” seloroh Arien.
“hohoi, iya dong. Tiap Sabtu pagi mba sering joging. Oiya, mba juga belum kepeleset, hhe” sedikit sombong, mumpung ada Al.
“cuss, ayo kita pulang. Ajak David.

Perjalanan pulang melewati rute yang sama. Medan lebih licin karena jalanan setapaknya sudah banyak yang melewatinya. Rerumputan liar di pinggir jalan setapak yang bisa aku lalui saat pendakian tampak lebih koyak bekas injakan rombongan pendaki yang lain.

“Hiiyaa!!” Brrughhh,,, aku terpeleset.
“Akhirnyaa kepeleset, ahahahah.” Kelakar renyahnya Al terdengar.
-_- Tega, teman kepeleset gini, seneng banget dah.
“adduuh, baru kepeleset satu kali ini” jawabku dengan ketus dan membela diri kemudian cepat-cepat bangun.
“satu kali yang ketahuan” balasnya.

Ratusan meter meninggalkan basecamp. Pemandangan semakin indah dengan sentuhan kabut tipis menyelimuti hamparan ladang sayur-mayur. Menuruni jalanan licin dan temurun terjal membuatku semakin berhati-hati. Terpeleset itu, memang sakit, pakaian semakin kotor, malu pula. Tapi biar lah, hal yang wajar karena kurang hati-hati. Hhe

Ada insiden ketika aku melewati perkebunan kubis, sangat menggiurkan untuk menggambil beberapa gambar. Akhirnya aku putuskan untuk masuk ke perkebunan kubis dan minta potoin ke Wayan- anggota kelompok 5 yang ikut pendakian.
“Dik, Potoin di kebun kubis itu dong”
“Oke mba, nanti gantian potoin ya”
“Oke”

“Hiiyaa!!” Brrughhh,,, seseorang dari rombongan kami terpeleset. Sayangnya aku dan Wayan sedang tanggung berfoto di tengah-tengan hamparan kebun kubis. Dari jauh aku hanya bisa berteriak “Dikk, kamu ga papa kan? Bisa bangun sendiri gaaa??” aku melihat yang tadi terpeleset sudah bangun dan melanjutkan perjalanan pulang.
















Setelah mengambil beberapa gambar, aku pun melanjutkan perjalanan. Ayo, sebentar lagi sampai rumah, tinggal lurus belok kanan di depan sana. “hiiyaa!!” Brrughhh,,, aku terpeleset yang kedua kalinya. Aku dibantu untuk berdiri oleh wayan.
“sakit ya mba, haduuh hati-hati mba, bentar lagi sampai”
“iya, maksaih ya”. Hmm aku jadi teringat seseorang yang terpeleset saat aku foto-foto di kebun kubis, teganya aku tidak langsung menolongnya untuk bangun, malah asik berfoto. Kalo orang tua dulu bilangnya itu ‘kualat’. Maaf ya, maaf T.T

Sampai di rumah pukul 11.15 kemudian langsung mandi dan mencuci pakaian bekas mendaki. Adik asuh sudah siap untuk membuat masakan yang akan di lombakan. Kami membuat somay. Serunya di dapur karena ramai-ramai bikin somay padahal aku belum pernah membuatanya begitupun adik asuh yang ada di dapur. Singkat cerita jadilah somay kami melalui beberapa teknik percobaan.
















Hari yang menyenangkan, sudah mendaki dilanjutkan dengan bereksperimen membuat somay. Meskipun lomba masaknya belum menang, yang penting kami sudah berusaha menyajikan yang terbaik, buktinya somay kami laris, habis di makan, tak tersisa bahkan kurang banyak buatnya.

02/02, ini hari terakhir kami di desa Sidokaton selama kegiatan KWI’15. Baru semalam aku merasa tidur nyenyak, mungkin sudah beradaptasi dengan dinginnya yang mengigit. kami ingin membuat momen hari ini lebih istimewa. Kami juga memesan ayam potong untuk makan siang bersama tuan rumah. Menu istimewa kami adalah Opor Ayam.
















Ini kali pertama aku membantu adik asuh memasak opor ayam, biasanya membantu ibu di rumah masak opor ayam tapi tidak tahu banyak cara memasaknya. Dan di sinilah kami belajar banyak tentang memasak, di dapur sederhana milik keluarga bapak Sukidi. Menu spesial dengan bumbu serba ada di halaman rumah, ada jahe, laos, kunyit, dan sereh.tinggal cabut dan dibersihkan dari kotoran- tanah yang menempel. Lumayan kan ga usah beli.

Seperti biasa, tingkah laku menarik tawa membuat makan bersama selalu ramai. Habis makan siang bersama kami bersilaturahmi dengan tetangga, mengucapkan terimaksaih atas bantuannya selama kegiatan, kemudian foto bersama sebelum peneutupan dan kembali ke kampus. Semoga kebersamaan dan kebahagiaan kita tidak sebatas di hari ini, di lain waktu semoga kita bertemu kembali.
















Perjalanan selalu melahirkan cinta, kenangan, dan sesuatu yang membuat kita kian dekat dengan Allah – Asma Nadia, dalam novel The Jilbab Traveler-
Ini kisahku selama KWI, mana kisahmu?
Selesai di tulis, 
12/02/2015 
Pukul 23.44 WIB 
Di Kota Serang. 

#1: airnya dingin banget !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk Pelaksanaan & petunjuk tertulis Lomba Mewarnai, Menggambar, dan melengkapi Gambar SD

Petunjuk Pelaksanaan Tema kegiatan            : “Ja galah Tanah dan Air untuk Masa Depan .” Kegiatan ini dilaksanakan pada       :                                                                                                                  Hari/Tanggal    : Minggu , 27 April 201 4 Waktu              : Pkl. 0 7 . 3 0 – 10. 3 0 WIB Tempat             : Pelataran Parkir Laboratorium Biologi I (LBI) FMIPA Unila Pendaftaran peserta tanggal 1 Maret – 26 April 201 4 . Menyerahkan formulir pendaftaran paling lambat 26 April 201 4 pada jam kerja (Pkl. 08.00 – 15.00 WIB). Membayar uang pendaftaran sebesar Rp 40 .000 Peserta telah memenuhi ketentuan administrasi dan terdaftar. Peserta wajib berada di tempat 30 menit sebelum waktu pelaksanaan lomba dimulai. Peserta wajib mengenakan tanda peserta. Peserta diusahakan memakai pakaian seragam sekolah. Peserta wajib mengikuti semua peraturan pelaksanaan lomba, yaitu : -    

Menjaga Ekosistem Pantai dan Laut Demi Keanekaragaman Makhluk Hidup

Klub selam Anemon Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung (FMIPA-Unila) mengadakan kegiatan Coral and Coastal Clean Up (CCCU) 2015 di Teluk Pengantin, Pulau Tegal kabupaten Pesawaran provinsi Lampung pada 27/02 - 01/03. Hamparan pasir putih dan terhalus di provinsi Lampung, serta air laut yang biru dan jernih memperlihatkan bibir pantai berkarang indah terlihat dari kejauhan. Pulau kecil berpenghuni 33 kepala keluarga ini menyajikan bibir pantai untuk dinikmati keindahannya. Dalam rangkaian kegiatan tersebut ada beberapa kegiatan diantanya adalah bersih-bersih pantai dan laut di lingkungan pesisir pantai Teluk Pengantin dari garis pantai yang biasa dilalui dengan panjang berkisar 150 M. Menurut ketua pelaksana kegiatan, Arif Rahmat Dwi Putra menjelaskan pentingnya menjaga ekosistem laut dan pantai dari kerusakan. Penyebab utama kerusakan tersebut adalah sampah. “keberadaan sampah yang tersangkut di daerah terumbu karang tentu sangat menggangg

Hidup Layaknya Sang Ikan Salmon

Azan kembali berkumandang, senja yang ku nikmati sesaat sudah merayap hitam bertabur kerlip bintang dan si cantik rembulan malu-malu memancarkan cahaya. Disela istirahatku yang singkat, sudah saya rencanakan beberapa agenda setelah shalat isya dan makan malam bersama teman kos, saya merencanakan untuk menulis sebuah catatan tentang hidup, hidup layaknya sang ikan salmon. Kenapa ikan salmon? Begini kisahnya: Ada sebuah cerita dari nelayan Jepang yang mencari ikan di tengah lautan luas. Lautan tersebut cukup jauh dari daratan. Mereka menangkap ikan–ikan salmon untuk dibawa ke daratan. Orang–orang jepang tentu menginginkan ikan yang segar namun ikan salmon yang dibawa para nelayan tersebut telah mati ketika sampai di daratan sehingga tidak segar lagi. Hal ini membuat para nelayan berpikir bagaimana caranya agar ikan yang ditangkap di lautan tidak mati ketika sampai di daratan. “Ah… Mungkin kita harus menaruh ikan-ikan hasil tangkapan di bak berisi air dalam kapal supaya ikan